Perkembangan teknologi yang begitu maju dan pesat menjadikan gaya hidup dan perilaku masyarakat juga mulai berubah. Hal itu juga perlu direspons oleh pengelola perpustakaan untuk mengikuti kemauan dan kebutuhan para generasi milenial dengan menjadikan perpustakaan bukan lagi tempat untuk mencari buku semata, namun menjadi tempat untuk ajang berkumpul dan diskusi sambil minum kopi. Demikian yang mengemuka dalam seminar nasional yang bertajuk Perpustakaan di Era Disrupsi dan Pasca Disrupsi, Selasa (13/3), di ruang Seminar Perpustakaan UGM.
Seminar yang dilaksanakan dalam rangka perayaan Dies Natalis Perpustakaan UGM ke-67 ini menghadirkan tiga orang pembicara, yakni Dosen Psikologi UGM, Dr. Neila Ramdhani, M.Si., Direktur Marketing PT Infomedia Nusantara, Andang Ashari ST, MT., dan peneliti senior perpustakaan UGM, Ida Fajar Priyanto, Ph.D. Dosen Psikologi UGM, Dr. Neila Ramdhani, M.Si., mengatakan perilaku masyarakat yang berubah di era disrupsi perlu direspons oleh setiap perpustakaan untuk memberikan layanan yang lebih baik terutama kepada generasi milenial selaku pengguna. “Generasi milenial sekarang ini sangat suka informasi yang sifatnya detail,” ungkapnya.
Berbeda dengan generasi baby boomer atau generasi X, kata Neila, generasi milenial umumnya lebih pandai, cepat berpikir dan responsif. ”Kita perlu memberi kesempatan dan mendengarkan mereka. Apabila tidak didengarkan mereka akan bicara di tempat lain mungkin bisa saja tidak sesuai dengan tata nilai yang ada,”tuturnya.
Namun demikian, generasi milenial penuh dengan tekanan karena persaingan mendapatkan informasi yang begitu cepat terjadi di sekitar mereka. “Mereka hidup di bawah tekanan, kita harus memberikan mereka fasilitas untuk kenyamanan,” paparnya.
Andang Ashari ST, MT., mengatakan perpustakaan menghadapi tantangan tingkat literasi masyarakat yang masih rendah. “Hanya satu dari seribu orang yang suka membaca buku. Bahkan, dari 61 negara yang diriset oleh Unesco kita berada di peringkat 60, di atas Boswana. Namun, untuk rangking perpustakaan kita berada di peringkat 36 dunia,” paparnya.
Tingkat budaya baca yang rendah ini, menurut Andang, menyebabkan perilaku penyebaran hoax meningkat. “Karena budaya membaca bukunya kurang, yang ngomong nggak jelas dianggap benar dan yang banyak like di media sosial dianggap benar,” katanya.
Meski budaya baca kurang, namun berdasarkan hasil riset, kata Andang, orang Indonesia sangat suka menggali informasi lewat mesin pencari di internet. “Mereka familiar dengan mesin pencari di internet, ada budaya share, dan mendiskusikan konten setiap informasi yang diperoleh,” katanya.
Oleh karena itu, menurutnya, perpustakaan juga perlu merespons perilaku generasi milenial dengan menyediakan konsep coworking space di perpustakaan, “Kita harus membaca perubahan lifestyle dari customer,” ujarnya.
Selain mengetahui tren dari pengguna, kata Andang, pengelola perpustakaan juga perlu meningkatkan fasilitas teknologi dalam penyediaan jasa layanan di perpustakaan. “Anak muda sekarang lebih suka segala sesuatu terhubung ke smartphone, dari mencari buku dengan cepat, bentuknya harus digital dan selalu terkoneksi internet,” katanya.
Ida Fajar Priyanto, Ph.D., mengatakan pengelola perpustakaan perlu melakukan learning user untuk mengetahui selera dari pengunjung perpustakaan,”Kita tahu generasi sekarang ada yang suka visual dan gerak, ada yang suka mempraktikkan, ada juga yang sukanya menyendiri saat berada di perpustkaan, semuanya perlu difasilitasi,” katanya.
Ia mengakui perilaku pengguna perpustakaan saat ini sudah mulai berubah. Apabila sebelumnya perpustakaan dikenal sebagai tempat yang sunyi dan sepi untuk mereka yang suka membaca buku. Namun, saat ini perpustakaan sudah menjadi tempat untuk aktivitas belajar berkelompok dan tempat berkumpul komunitas. (Humas UGM/Gusti Grehenson)